Selasa, 16 Februari 2016

Senin, 15 Februari 2016

Jumat, 05 Februari 2016

Inspirasi untuk Keluarga kecilku

Edit Posted by
Ciptakan Generasi Literat. Kenapa Tidak?
Kegemaran membaca anak, ternyata bisa dirangsang sejak masih berada dalam kandungan.
Literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau mengerti huruf. Dalam konteks saat ini, literasi memiliki arti sangat luas. Bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Dalam bukunya ‘Literacy: Profiles of America’s Young Adults’ Kirsch dan Jungeblut mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan kemampuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Dominan, Peran Keluarga
Ternyata anak bisa dirangsang untuk gemar membaca sejak berada dalam kandungan. Wanita hamil yang sedang dikandungnya cenderung akan melahirkan anak yang kemudian gemar membaca.
Kegiatan reading aloud atau membaca nyaring untuk anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Untuk mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orangtua sejak dulu. Seorang ibu bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca, seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah.
Nicole Niamic dalam ‘The Benefits of Reading to Your Children’ mengatakan, jika orangtua membacakan buku cerita kepada anak sejak dini, mereka sebenarnya telah mengenalkan anak pada dunia lain yang mengasyikkan. Kebiasaan ini ternyata akan menentukan kesuksesan akademik mereka di kemudian hari.
Hasil riset menunjukkan, umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orangtua di rumah. Mereka akan gemar membaca jika melihat lingkungan terdekatnya sering membaca buku, koran, atau majalah.
Anak usia dua tahun yang setiap hari sering dibacakan buku cenderung berprestasi lebih baik saat duduk di TK atau SD dan memiliki kemampuan belajar dan berkomunikasi 2-3 kali lebih baik ketimbang anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu.
Riset lebih lanjut mengatakan, anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung memiliki kemampuan matematika lebih baik.
Penelitian lain juga menegaskan bahwa membaca nyaring memiliki pengaruh positif lain seperti mempererat hubungan kasih sayang orangtua dan anak, mengenalkan anak pada bahasa lisan dan tulisan, meningkatkan kemampuan berbahasa anak, membuat anak menikmati dunia belajar sebagai hiburan, dan sekaligus memperluas wawasan dan pengetahuan mereka.
Hubungan membaca dan kemampuan akademik ini tidak ada kaitannya dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan orangtua. Anak-anak akan meniru apa yang mereka lihat di sekelilingnya. Jadi, mari kita ciptakan generasi literat di lingkungan kita sendiri, yakni keluarga. (
Kematangan bersekolah sangat penting agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru bernama sekolah dasar.
Ada fenomena menarik belakangan ini. Beberapa orangtua berusaha memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar (SD) sedini mungkin. Bahkan, ada orangtua yang ingin memasukkan anaknya yang masih berusia 4,5 tahun hanya karena si orangtua khawatir, anaknya “ketuaan” saat masuk SD. Mereka juga merasa anaknya sudah siap masuk sekolah dasar, karena sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Coba, kurang apa lagi?
Ini jelas berbeda dari Lia Boediman, M.S..C.P., Psy, D., psikolog yang menghabiskan 22 tahun waktunya di Amerika dan baru kembali ke tanah air. Meski anaknya (5,5) sudah siap masuk sekolah dasar, tapi Lia malah menundanya. Semua itu sudah dipertimbangkan dengan matang, termasuk membicarakan dengan anaknya. Ternyata, anaknya pun setali tiga uang, ia masih ingin bersekolah di TK B dan belum mau masuk SD. Anaknya pun tak masalah bila nanti teman-teman sekelasnya di TK berusia lebih muda dari dirinya. Juga tak mengapa bila teman-teman seangkatannya di TK sudah berseragam merah putih alias duduk di kelas 1 sekolah dasar.
“Kalau usianya masih segitu, biarlah jika dia masih mau di TK B. Mungkin kalau usianya sudah 6 tahunan, pertimbangan saya, lain lagi. Bukankah untuk melanjutkan ke pendidikan dasar, minimal anak harus berusia 7 tahun? Jadi, meski anak saya sudah siap, biarlah dia dimatangkan lagi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan juga kemandiriannya. Dengan begitu, ia siap belajar dan tidak kapok karena tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah. Saya ingin menanamkan pada anak, sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Begitu juga dengan belajar, learning is fun and interesting. Dengan begitu, ketika di SD mereka akan mempunyai regulasi diri, tanggung jawab akan belajar, dan ketertarikan akan sekolah,” ungkap pengajar di Fakultas Psikoloogi Universitas Indonesia ini.
PASTIKAN ANAK MATANG
Menurut Lia, sebelum memasuki jenjang SD, anak sebaiknya memiliki beberapa aspek kematangan bersekolah, meliputi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan kemandirian. Jadi kemampuan anak menulis, membaca, dan berhitung saja tidak cukup. Itulah mengapa, untuk mengetahui kesiapan anak bersekolah, banyak SD yang mengharuskan para calon peserta didiknya melakukan tes kematangan sekolah.
Selain untuk kelancaran proses belajar mengajar, tes kematangan sekolah juga diperlukan untuk kebaikan anak itu sendiri. Bayangkan, secara aspek kognitif anak sudah matang, tapi dari sisi kemandirian, emosi dan aspek lainnya belum matang, sehingga akan menyulitkan dirinya dan juga pihak sekolah. IQ-nya boleh tinggi, tapi di kelas dia belum bisa melakukan toilet learning sendiri. Apakah gurunya yang harus membantu anak melakukan toilet learning? Itu jika satu anak, bagaimana bila dalam satu kelas ada beberapa anak dengan kondisi sama. Repot, kan? Tidak hanya itu. Ia juga mudah tantrum atau menangis. Meski secara kognitif ia siap, namun ketidakmatangan emosi ini akan menghambatnya saat bersosialisasi; anak akan dijauhi, tidak disukai teman-teman di sekolahnya. Bukan tidak mungkin nantinya anak menjadi malas atau mogok sekolah. Bahaya, kan?
Bila anak masuk ke sekolah yang menyeimbangkan aspek kognitif dan aspek lainnya, maka anak bisa saja mengejar ketertinggalan tersebut. Tapi bagaimana bila anak bersekolah di sekolah yang menekankan pada aspek kognitif semata? Di satu sisi kognitif anak akan semakin tinggi, tapi di sisi lain aspek yang kurang matang akan menjadi kurang terstimulasi. Akibatnya, aspek-aspek yang kurang matang akan semakin sulit berkembang, tertinggal jauh dari teman-teman lainnya yang sudah matang. Inilah yang akan menjadi masalah di kemudian hari, dimana di usia sekolah dasar anak harus terus-menerus disuruh belajar, lalu saat ujian orangtuanya stress karena sibuk belajar, menanya-nanya soal, membacakan, dan sebagainya. Nantinya, anak tidak bisa menjalin relasi sosial yang baik dengan orang lain, masih banyak dibantu, dan sulit untuk menjadi sukses.
“Ini yang tidak diinginkan, sehingga uji kematangan sebelum bersekolah perlu dilakukan.” Jadi tidak mentang-mentang bisa calistung, si kecil yang berusia 4 tahunan lantas bisa masuk sekolah dasar, ya, Bu-Pak.
KEMATANGAN MERUPAKAN PROSES
Kematangan anak untuk bersekolah merupakan proses yang terkait dengan aspek perkembangan anak secara keseluruhan dan proses ini dimulai sejak bayi. Kematangan anak harus dibina dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, anak diberi kesempatan untuk mandiri, bisa bersosialisasi, dan sebagainya. Kenalkan dan ajarkan kemampuan tersebut di rumah sesuai dengan tahapan usia perkembangannya.
Jadi, kematangan bersekolah ini tidak dinilai atau dilihat saat anak mau masuk sekolah dasar saja. Tahun depan anak mau masuk SD, lalu kematangannya dinilai 6 bulan sebelumnya. Tidak demikian. Tes-tes kematangan sekolah yang diberlakukan di beberapa SD, pada intinya untuk melihat gambaran mengenai kekurangan dan kelebihan anak tersebut. Sekolah-sekolah biasanya akan menerima anak dengan menyeleksinya sesuai standar tertentu.
Padahal, untuk mengetahui kematangan bersekolah anak dibutuhkan tenaga psikolog anak professional. Maka itu, orangtua disarankan membawa anaknya ke psikolog anak professional, meski tidak dipungkiri beberapa sekolah sudah melibatkan psikolog anak professional dalam tes itu.
Informasi kematangan bersekolah anak ini diperoleh psikolog dengan cara mewawancarai orangtua si anak mengenai perkembangannya, mendapatkan informasi dari guru TK sebelumnya, dan juga melakukan observasi pada anak langsung dengan bertanya, berinteraksi dengan bermain, dan mengobservasi lainnya. Dengan begitu dapat diketahui seperti apa perkembangan diri si anak. Selain itu, dilakukan pula tes intelegensi untuk mengetahui kemampuan kognitif anak. Lewat serangkaian proses itu dapat diperoleh rekomendasi, apakah anak sudah matang untuk melanjutkan ke jenjang SD atau tidak.
SETIAP ANAK BERBEDA
Kematangan setiap anak tentunya berbeda-beda. Selain dipengaruhi usia, juga oleh temperamen, cara belajar anak selama ini, tahap perkembangannya, serta faktor lingkungan yang mendukungnya. Umumnya, pada anak-anak normal, di usia 6-7 tahun anak sudah matang alias siap untuk bersekolah. Kecuali pada anak-anak yang mempunyai masalah dengan perkembangannya, seperti ada hambatan kognitif, bahasa, dan sebagainya, tentunya di usia 7 tahun belum bisa masuk SD karena ada masalah tersebut.
Memang, di usia 6-7 tahun itu boleh jadi ada beberapa aspek anak yang mungkin saja belum matang, tapi yang harus diingat, kematangan anak untuk bersekolah tidak dilihat dari satu aspek saja, tapi secara keseluruhan. Apalagi dalam setiap aspek, misalnya, aspek bahasa terdiri atas beberapa komponen, begitupun aspek motorik, dan sebagainya, masing-masing ada komponennya.
Jadi, bisa saja anak secara aspek kognitifnya sudah matang, namun secara sosial masih pemalu. Bukan berarti anak belum matang untuk masuk SD. Kekurangan anak atau kurang siapnya anak secara sosial tersebut masih bisa diupayakan, di-support untuk lebih matang dalam aspek tersebut.
Maka itu, pemilihan sekolah pun menjadi penting. Pilihlah sekolah yang menyeimbangkan semua aspek perkembangan anak. Tidak hanya kognitif, tapi juga aspek lainnya, sehingga semua aspek anak dapat terasah secara optimal.
KERJA SAMA ORANGTUA-SEKOLAH
Mengingat sistem pendidikan di tanah air yang cenderung kurang memberikan kematangan pada aspek lain selain kognitif, maka diperlukan kerja sama antara orangtua dan pihak sekolah (SD). Orangtua harus berperan aktif dengan cara mengenal baik anaknya, mengetahui bagaimana tahapan perkembangannya, mengetahui kekurangan dan kelebihan anaknya, sehingga orangtua tahu apa yang dapat dilakukannya atas kekurangan yang dimiliki agar menjadi lebih baik serta dapat memaksimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Contoh, orangtua melihat anak masih kurang mandiri, maka orangtua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri. Contoh lain, aspek sosial anak tampak masih kurang, maka anak sering-sering diajak berinteraksi dengan temannya atau orang lain.
Pihak sekolah dasar juga seharusnya bisa melihat beban-beban yang diberikan kepada muridnya agar seimbang pada setiap aspek perkembangan. Menyediakan fasilitas untuk mendukung aspek-aspek perkembangan anak, misal, menyediakan ruang bermain seperti playground atau lapangan basket untuk mengasah kemampuan motorik anak.
Memberikan pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar anak, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan lewat bermain terutama pada usia-usia SD awal. Guru sekolah dasar juga sebaiknya mengetahui tahapan perkembangan di usia sekolah, sehingga dapat mengembangkan kemampuan anak secara keseluruhan. (Nakita)
INDIKATOR KEMATANGAN BERSEKOLAH
1.     Aspek FISIK
·        Motorik Kasar
-         Bisa duduk tegap.
-         Berjalan lurus dan bervariasi.
-         Berlari.
-         Melompat.
-         Melempar.
-         Memanjat.
-         Naik turun tangga.
-         Mengombinasi gerakan seperti lompat, jongkok, tegak dan berguling.
·        Motorik Halus
-         Dapat memegang pensil dengan baik.
-         Menggambar orang atau sesuatu dengan lebih rapi tidak berantakan.
-         Bisa makan sendiri.
-         Menulis angka.
-         Mewarnai.
-         Menggunting.
-         Menyusun lego.
2.     Aspek BAHASA
-         Memperkenalkan diri, nama, alamat, dan keluarga dengan jelas.
-         Bercerita mengenai keadaan di rumah, sekolah, permainan, dan lain-lain.
-         Menjawab pertanyaan.
-         Menyanyikan lagu.
-         Menyebutkan seluruh anggota badan.
-         Menirukan huruf, suku kata, dan kata.
3.     Aspek KOGNITIF
-         Menerangkan mengenai sesuatu, misalnya kegunaan suatu benda.
-         Mengenal warna.
-         Mengetahui angka atau bilangan.
-         Membedakan bentuk.
-         Dapat mengelompokkan benda/sesuatu.
-         Memahami konsep penjumlahan dan pengurangan.
-         Membaca tanda-tanda umum seperti di jalan.
-         Dapat berpikir lebih fleksibel dan sebab akibat.
-         Rasa keingintahuan yang besar dan mencari tahu jawabannya.
4.     Aspek SOSIAL-EMOSIONAL
-         Bisa bermain secara interakstif dengan temannya.
-         Berperilaku sesuai norma yang ada di lingkungannya.
-         Menghargai adanya perbedaan maupun pendapat orang lain.
-         Tidak lagi terlalu bergantung/lengket pada orangtuanya.
-         Dapat menolong orang lain/temannya.
-         Menunjukkan rasa setia kawan deengan temannya.
-         Bisa beradaptasi di lingkungan baru seperti teman atau guru.
-         Bila diberi tahu sesuatu bisa mengerti.
-         Dapat berkonsentrasi maksimal 15-20 menit.
-         Bisa menunggu atau menahan keinginannya.
-         Dapat patuh pada aturan dan tuntutan lingkungan.
5.     Aspek KEMANDIRIAN
-         Sudah bisa makan sendiri.
-         Pakai baju sendiri.
-         Menyikat gigi sendiri.
-         Toilet learning.
-         Mulai dapat teratur pada rutinitas, seperti bangun tidur.